Kita
sadar dan percaya, bahwa di bumi nusantara ini sangat kaya akan ilmu
spiritual, tetapi ironisnya, banyak yang gagal dalam PENCAPAIAN
spiritualitas. Orang bersemangat untuk memeluk agama, tetapi gagal dalam
“menjadi’ agama itu.
Wajah
negeri yg dahulu dicap sebagai negeri multi agama, multi etnis, multi
kultur tetapi solid bersatu di atas slogan Bhineka Tunggal Ika karena
rakyatnya memiliki watak toleransi. Negeri yang subur makmur gemah ripah
loh jinawi. Lautan diumpamakan kolam susu, dan dikiaskan bahwa tongkat
kayu pun dapat tumbuh karena saking suburnya tanah daratan. Hawanya
sejuk, banyak hujan, kaya akan hutan belantara sebagai paru-paru dunia.
Hampir tak ada bencana alam; tanah longsor, banjir, gempa bumi, angin
lesus, kebakaran, kekeringan.
Tetapi
realitasnya di masa kini sangat kontradiktif, justru kita semua sering
menyaksikan di media masa maupun realitas obyektif sosial-politik
sehari-hari. Negeri ini telah berubah karakter menjadi negeri yang
berwajah beringas, angker, berapi-api, anti toleran, waton gasak, nafsu
menghancurkan dan bunuh, “semangat” menebar kebencian di mana-mana.
Sangat disayangkan justru dilakukan oleh para sosok figur yang
menyandang nama sebagai panutan masyarakat, pembela agama, dan juru
dakwah yang memiliki banyak pengikut. Ini sungguh berbahaya, dapat
membawa negeri ini ke ambang kehancuran fatal. Alam pun turut bergolak
seolah tidak terima diinjak-injak penghuninya yang hilang sifat
manusianya. Sehingga bencana dan musibah datang silih berganti, tiada
henti, bertubi-tubi membuat miris penghuni negeri ini.
Lantas di mana wajah negeri impian yg tentram, damai, subur, sejuk, makmur ? apakah ini sudah benar-benar hukuman atau bebendu
dari Gusti Allah, sebagaimana sudah diperingatkan oleh para leluhur
kita yg bijaksana dan waskita sejak masa silam ? masihkah kita akan
mengingkari nasehat tersebut, dengan mengatasnamakan “kebenaran” maka
serta merta menganggapnya sebagai “ramalan” yang tidak boleh dipercaya,
karena dekat dengan syirik dan musyrik. Sikap seperti itu hanya
menjauhkan kita dari watak arif dan bijaksana.
Musibah,
bencana, wabah, dan seterusnya, tengah melanda negeri ini. Sudah
selayaknya kita sadari semua ini sebagai hukuman, atau bebendu
dari Tuhan. Anggapan demikian justru akan menambah kewaspadaan kita,
dapat menjadi sarana instropeksi diri, dan otokritik yang bijak. Agar
kita lebih pandai mensyukuri nikmat dan anugrah Tuhan. Sebaliknya
anggapan bahwa ini semua sebagai COBAAN bagi keimanan kita merupakan
pendapat yang terlalu NAIF, innocent. Kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan
menjadi ndableg, lancang, kurang waspada lan eling. Sejak
kapan kita bisa mengukur keimanan kita ? parameter apa yg dipakai ?
seberapa persen keimanan kita hanya dapat diukur dgn “perspektif” yg
hanya Tuhan miliki. Kita menjadi sok tahu, teralu percaya diri dengan
tingkat keimanan kita. Begitulah awalnya manusia menjadi keblinger.
Selalu ingin mencari menangnya sendiri, mencari benernya sendiri,
mencari butuhnya sendiri. Manusia seperti itu tidak menyadari
sesungguhnya dirinya menyembah HAWA NAFSU. Itulah makna apa yang disebut
PENYEKUTUAN TUHAN, yakni nuruti RAHSANING KAREP (nafsu). Merasa sudah
tinggi ilmunya, padahal ilmunya tidak mumpuni. Ilmu Tuhan bukankah
ibarat air laut yang mengisi seluruh samudra di jagad raya ini.
Sedangkan ilmu manusia hanya setetes air laut. Dari setetes air laut
itu, sudah seberapa persenkah yang kita miliki ?
MEMBUKA PINTU HATI, MENUJU MANUNGGALING KAWULA GUSTI
Salah satu cirikhas orang-orang yg sudah mampu memahami hakekat “manunggaling kawula-Gusti“ adalah ; “DUWE RASA, ORA DUWE RASA DUWE” (tidak punya rasa punya). Tumbuhnya rasa demikian itu menjadi pembuka jalan untuk menggapai tataran kemanunggalan (manunggaling kawula-Gusti), harus di awali dgn nuruti atau mengikuti KAREPING RAHSA. karena rahsa atau rasa atau sir merupakan pancaran dari “kehendak” Tuhan (sirullah).
Di
manakah sinyal rasa itu berada ? Bagi yg masih ‘awam’ cermatilah suara
hati nurani anda ! Hati nurani itu tidak dibelenggu nafsu, ia merupakan
pancaran kehendak Tuhan atau sirullah. Sirullah diumpamakan rasa manis
dengan “gulanya”. Atau bayangan rembulan dengan rembulannya. Rembulan
itu satu, tetapi bayangannya ada dalam ratusan, ribuan atau jutaan ember
berisi air. Begitulah personifikasi akan hakikat antara makhluk dengan
Sang Pencipta. Di dalam RAHSA terdapat Zat dan energi Tuhan. Buanglah setan (nafsu) dari dalam hati, maka akan “tampak” sejatinya “wujud” Tuhan. Keberhasilan menyirnakan setan (nafsu) memudahkan kita LEBUR DENING PANGASTUTI,
menyatu dengan hakikat energi Tuhan. Dalam peleburan itu, nurani akan
mentransformasi sifat hakikat Tuhan. Terbukalah pintu hakekat
“penyatuan” atau “panunggalan”, sebagai wujud dari makna “dwi tunggal” (loro-loroning atunggil).