AJARAN METAFISIS FILOSOFIS (HAKEKAT)
Dalam perspektif filosofis, semua hal yang ada di dunia ini memiliki
aspek fisika (fisik) dan metafisika (metafisik). Demikian pula agama
memiliki dua aspek tersebut. Syariat merupakan bentuk fisik dari agama,
sedangkan bentuk metafisikanya ada dalam hakekat dari syariat agama.
Seseorang hendaknya mengetahui fisik atau syariat yang merupakan tata
caranya merncapai spiritual. Sedangkan metafisik atau hakekat sebagai
bentuk pencapaian spiritualnya. Filsafat bukan mebicarakan fisik dari
segala yang ada, melainkan membicarakan metafisika atau sesuatu yang ada
dibalik keadaan fisik.
Ajaran
Siti Syeh Jenar lebih memberikan tekanan pada filsafat ketuhanan dan
filsafat kebenaran dengan kata lain bukan lagi berhenti pada tataran
syariat, tetapi telah melangkah pada tataran yang lebih tinggi yakni
hakekat. Hal itu berbeda dengan ajaran yang disampaikan para wali, yang
lebih mengedepankan syariat. Meskipun demikian ajaran Syeh Siti jenar
yang mengutamakan filsafat ketuhanan dan kebenaran mengarah kepada
ajaran Islam yang umumnya disebut sebagai ilmu tasawuf. Ajarannya
mengutamakan pentingnya pengolahan kalbu (istilah Gusti MN IV; sembah
kalbu/cipta) dengan implementasi pada ibadah-ibadah bersifat lahiriah.
Syeh
Siti Jenar mengajarkan tentang falsafah kebenaran dan berusaha
merumuskannya ke dalam bentuk kearifan dan kebijaksanaan. Sehingga
menciptakan suatu hukum-hukum dalam bertindak (akhlak). Di situlah
muncul kesan penyimpangan ajaran Syeh Siti Jenar jika dipandang dari
perspektif penganut ajaran yang lebih mengutamakan syariat baku atau
bagi yang memahami Qur’an dan Hadits secara tekstual. Terlepas dari
munculnya kesan di atas, ajaran Syeh memang banyak menyangkut perilaku
manusia dalam kehidupan sehari-hari. Pandangannya mengandung nilai
metafisik mengenai baik-buruk, dan salah-benar.
PRO-KONTRA AJARAN SYEH SITI JENAR
Sejak
itulah terjadi pro-kontra antara Syeh Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang
berikut para muridnya dengan para wali. Kubu para wali bersikukuh
menilai ajaran Syeh Lemah Abang adalah sesat. Sementara masyarakat waktu
itu menganggap ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh Syeh Siti Jenar
sebagai pencapaian spiritual yang tinggi. Apalagi ajarannya tetap
berpegang pada pandangan Islam. Di hadapan para muridnya Syeh Lemah Bang
merupakan seorang sufi, sebagaimana tokoh-tokoh sufi lainnya yang
memandang bentuk kehidupan dunia ini sebagai kebusukan yang memuakkan.
Sehingga seorang sufi menghindari kehidupan duniawi dan memilih
kesederhanaan. Dunia dipandang sebagai kematian, sebab kehidupan yang
sesungguhnya adalah sesudah seseorang menemui ajalnya. Jadi manusia yang
hidup di dunia ibaratnya bangkai-bangkai yang bergentayangan. Pemikiran
demikian sesuai dengan ajaran sufisme yang berkembang di ranah Arab.
Syeh
Siti Jenar dan para muridnya sangat menyadari bahwa ajarannya seolah
aneh, sesat dan menyimpang dari ajaran Islam. Penilaian ini muncul sejak
dahulu hingga saat ini. Kenyataan ini wajar saja karena memang
orang-orang sufi dan penganut ajaran tasawuf di dunia ini jumlahnya
sangat sedikit jika dibandingkan dengan orang yang mengikuti syariat
murni. Sedangkan menurut ahli tasawuf bahwa Islam tidak sebatas
syariat, melainkan ada tingkatan-tingkatan peribadatan yang wajib
ditempuh yakni tarekat, hakekat dan makrifat. Seseorang dapat disebut
sebagai Islam sejati apabila telah mengamalkan tingkatan peribadatan
secara utuh.
KRITIK SYEH SITI JENAR;
Tugas Umat (para wali) yang Tidak Tuntas
Menurut Syeh Jenar, orang Islam kebanyakan yang masih awam ibarat
sebagai kulit kelapa. Ilmunya masih sebatas berada di kulitnya saja.
Padahal untuk mencapai air kelapa, seseorang harus melewati kulit, lalu
dagingnya dan barulah bisa mereguk air kelapanya (makrifat). Perumpamaan
Siti Jenar ini kira-kira dapar dipersonifikasi lebih jelas sebagai
berikut;
- Syariat diumpamakan kulit kelapa,
- Tarekat diumpamakan tempurungnya,
- Hekat diumpamakan sebagai hakekatnya,
- Makrifat diumpamakan sebagai air kelapanya.
Maka
sangat jauh dari tujuan pencapaian spiritual apabila seseorang mandeg
pada tingkatan syariat saja. Sebagaimana ajaran yang lebih utuh seperti
dituturkan oleh KGPAA Mangkunegoro IV dalam ajaran Kejawen tentang tata
cara mencapai spiritual yang dituangkan dalam pengetahuan spiritual
Catur Sembah yakni; sembah raga (syariat), sembah cipta/kalbu (tarekat),
sembah jiwa (hakekat), sembah rasa (makrifat). Beliau menuturkan
apabila seseorang akan meraih pencapaian spiritual, hendaknya menempuh
empat macam “laku” sembahyang atau catur sembah.
Siti Jenar tidak setengah-setengah dalam mengajarkan ajaran Islam.
Justru Siti Jenar menilai bahwa para wali mengajarkan Islam baru pada
tahap “serabut kelapa” saja, atau kulit, syariatnya. Menurut Siti Jenar,
hal itu akan membahayakan bagi umat Islam sendiri maupun umat yang
lainnya dalam kancah perhelatan dunia di kelak kemudian hari. Perkataan
Siti Jenar ini mungkin ada benarnya jika melihat kecenderungan umat
Islam pada zaman sekarang ini.